Followers

Islamic Widget

Khamis, 1 Disember 2011

Al- Biruni (BHG 1)


Anak Yatim
Muhammad bin Ahmad, siapakah dia? Anak yatim yang biasa dipanggil ibunya, Abu Raihan. Mereka berdiam di daerah Biruni yang terletak di sekitar Kats, ibukota kerajaan Al-Khuzamah. Negara ini terbentang di Asia Tengah. Sebelah selatan dibatasi Laut Aral dan sebelah utara dibatasi Laut Qezwin. Kats ibukota yang telah kita sebut tadi berada di sebelah utara Sungai Jijun(sekarang Amudarya). Di dalamnya terdapat banyak bangunan yang mengagumkan; istana, masjid-masjid, dan berbagai pusat kegiatan keagamaan berdiri megah di sana.



Muhammad bin Ahmad atau Abu Raihan bersama ibunya berada di kota Biruni, suatu kota yang panas. Para pedagang lokal banyak pula bermukim di sini,juga para pedagang dari Cina, India, Yunani, serta Arab. Mereka lebih memilih kota Biruni sebagai kawasan dagang untuk menghindari pajak. Sebab di kota Kats setiap yang masuk membawa dagangan akan dikenai pajak yang sangat memberatkan mereka.
Abu Raihan memiliki kebiasaan sangat positif. Walau usianya masih kecil, perhatiannya terhadap alam telah tumbuh subur. Siang hari waktunya dihabiskan mengejar kupu-kupu, memperhatikan bunga-bunga ditaman atau di kebun. Dia bahkan suka berjalan-jalan memasuki hutan, mendaki bukit kecil dan melintasi padang pasir. Tiap kembali kerumah, ditangan si kecil ini telah tergenggam setangkai bunga. Ia letakkan bunga itu di gelas hingga harumlah rumah si miskin itu.
Ya, ia memang tergolong keluarga miskin, ayahnya hanyalah seorang pedagang kecil. Sebab itu ketika sang ayah meninggal, tak ada pilihan lain bagi si ibu kecuali mengumpulkan kayu bakar. Kayu bakar itu kemudian dijual di pasar Biruni. Dan Abu Raihan dengan setia turut pula membantu. Itu dilakukannya pada musim gugur pada setiap tahunnya, sebelum musim penghujan datang membanjiri kebun dan hutan.
Jumpa Ahli Botani
Suatu hari Abu Raihan melihat seseorang sedangg memetik bunga dan memotong tumbuh-tumbuhan langka yang berada di bawah pohon besar. Hati Abu Raihan merasa sayang. Dengan penuh keberanian ia hampiri orang itu dan bertanya kritis,
“Untuk apakah Tuan mengambil bunga dan tanaman? Tuan mestinya seperti saya; cukup melukiskannya tanpa memotong dan mengganggu kehidupan mereka!”
Orang itu tersenyum sambil berkilah:
“Wahai anak yang cerdik. Aku mengumpulkan tumbuhan ini untuk membuat ramuan dan obat-obatan. Orang sakit akan sangat membutuhkannya.”
Mendengar penjelasan itu, otak Abu Raihan yang cerdas segera dapat mengenali. Ia berteriak takjub,
“Kalau begitu, Tuan adalah ahli botani!”
“Benar. Kulihat engkau juga menyukai bunga dan tanaman.”
“Ya! Bahkan aku menyukai alam dan seluruh isinya. Aku amat sayang kepada binatang, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, gunung, bukit dan lembah,”jawab Abu Raihan penuh semangat. Ahli botani dari Yunani tanya lagi,
“Maukah engaku menemani saya? Akan kuajari engkau tentang banyak hal mengenai botani.”
Ajakan itu segera dijawab dengan spontan, “Tentu…tentu! Tetapi….?”
“Tetapi apa, wahai Abu Raihan?”
“Bagaiiimana aku bisa melakukannya, sedang saya harus membantu ibu mencari rizki, dan menemaninya mengumpulkan kayu bakar sebelum musim dingin tiba!”
Dengan penuh sayang, orang Yunani itu membelai kepala Abu Raihan.
“Jangan kau risaukan, wahai anak baik,”hiburnya. “Bantulah aku mengumpulkan bunga dan rerumputan. Kau akan kuajari tentang rahasia-rahasia ilmuku. Dan akan kusediakan upah untuk mencukupi hidupmu beserta ibumu.”
Mendengar janji ini, betapa gambira hati Abu Raihan, hingga matanya berkaca-kaca. Itu berarti dia akan membebaskan ibunya dari beban berat selama ini. Ibunya akan sedikit ringan karena tak lagi harus mengumpulkan kayu bakar. Selain itu ia juga dapat belajar suatu ilmu.
“Lihat!” Katanya kepada ahli botani itu. Abu Raihan menunjukkan beberapa lukisan tangannya sendiri tentang bunga, tanaman, dan pohon. Kemudian bercerita tentang riwayat hidup, bahwa dirinya ditinggal mati ayahnya seja kecil.
“Ayah meninggal setelah hartanya habis dan dagangannya mengalami kerugian,” demikian si cerdik berkisah.
Semakin kagum ilmuwan Yunani itu terhadap Abu Raihan. Yah, sekecil itu telah menguasai dua bahasa. Yakni Arab sebagai bahasa agama dan Parsi sebagai bahsa nasionalisme Turki. Sebab itu ia berjanji untuk mengajari Abu Raihan dua bahasa lagi, Yunani dan Suryani.
“Dengan empat bahasa, wahai si kecil, kau akan mengetahui ilmu-ilmu lama dan modern,” jelasnya.
Waktu yang dijanjikan kini tiba. Dua sahabt, ahli botani dan si kecil Abu Raihan mulai sibuk mengadakan penyelidikan. Ilmuwan Yunani mengajari bagaimana proses lahirnya tumbuhan dan biji-bijian. Tentang proses munculnya akar, dahan, daun, dan buah. Saat itu usia Abu Raihan baru sebelas tahun. Ia lahir hari Sabtu, hari kedua di bulan dzulhijjah, tahun 362 H. sama dengan hari ketujuh bulan September tahun 973 M.
Pakar Kecil
Tiga tahun berlalu sudah. Usia Abu Raihan 14 tahun. Diusia remaja, ia sangat mahir menggunakan bahasa Yunani dan Suryani berkat bimbingan ilmuwan Yunani. Juga banyak tahu tentang ilmu botani dan semakin menyukai ilmi-ilmu kealaman. Begitu asyik dan bergairah ia belajar kepada ilmuwan Yunani. Tetapi suatu kali hatinya benar-benar terkejut. Sebab guru pembimbingnya berkata,
“Sudah tiba saatnya aku harus kembali ke negeri asalku, wahai Abu Raihan. Aku telah lama meninggalkna keluarga di sana. Jika engkau tekun wahai anakku, kelak akan dikenal sebagai ilmuwan dan orang akan memanggilmu Al-Biruni. Kau telah menguasai empat bahasa. Itu merupakan bekal bagimu.”
Abu Raihan terpaku merasa sedih. Ia berkata,
“Bagaiamana mungkin….! Bagaimana aku bisa menjadi ilmuwan, sedang Bapak tak lagi di dekatku dan membiarkan aku kembali mengumpulkan kayu bakar kemudian menjualnya ke pasar?”
“Jangan cemas. Aku telah memikirkan nasibmu. Esok saya akan mengantarkan kau pada seorang pakar astronomi dan matematika. Dia adalah Abu Nashr Manshur Ibnu Ali bin ‘Iraq,” jelas ilmuwan botani itu.
Mendengar nama Abu Nashr, Abu Raihan berseru terkejut,
“Bukankah dia seorang pangeran dari keluarga Khawarizmi yang berkuasa di kota Kats ini?”
“Benar. Tetapi dia juga ilmuwan wahai anakku. Dan dia seperti engkau, suka binatang dan planet.”
Sambil berkata, ilmuwan Yunani meletakkan tangan di pundak Abu Raihan.
“Kau sekarang adalah ilmuwan kecil. Kau akan berteman dengan sang Pangeran. Cepatlah kemari untuk kupersiapkan pakaian pantas untuk menghadap sang Pangeran!”
Ambisi Seorang Pemuda
Kedatangan Abu Raihan disambut gembira oleh Pangeran Abu Nashr.
“Silahkan duduk wahai Abu Raihan!,” sambutnya senang. Dalam bincang-bincang sampailah Pangeran pada janji untuk menanggung kehidupan keluarga pakar muda tersebut.
“Demi kecintaanmu pada ilmu, saya bersedia menggantikan kedudukan ayahmu. Kamu tak perlu lagi mengumpulkan kayu bakar!,” demikian janji Pangeran.
Pangeran Abu Nashr memberikan sebuah rumah yang terletak di Kats kepada Abu Raihan bersama ibunya. Fasilitas ruang belajar [ribadi disediakan pula di istana. Masih lagi ditambah gaji bulanan. Dan dengan tekun sang Pangeran menjadi guru privatAbu Raihan. Mengajari ilmu falak (astronomi) dan matematika. Hingga sampailah usia Abu Raihan 19 tahun. Jiwanya semakin berambisi untuk menemukan pengetahuan-pengetahuan baru tentang astronomi dan matematika. Ia belajar sampai benar-benar menguasai berbagai teori klasik dan modern.
Ia mulai mencoba untuk menerapkan ilmu yang didapat. Letak Kats secara geografis mulai menjadi kajiannya. Ia buat lingkaran-lingkaran yang dibagi-bagi manjadi setengah derajat untuk mengamati ketinggian matahari di kota Kats pada waktu tepat tengah hari. Yakni saat setiap benda memiliki bayang-bayang. Dengan perhitungan matematika, percobaannya berhasil dengan gemilang. Matematika dapat untuk mengetahui garis lintang kota Kats. Penuh harap ia memperlihatkan hasil karyanya kepada Abu Nashr, guru dan pangerannya.
“Kini, kau telah mahir dan tahu jalannya untuk menjadi ahli falak, wahai Biruni! Kemahiranmu dalam bidang falak telah sama dengan kecakapanmu dalam bidang botani. Nah, manakah yang akan kau pilih sebagai spesialisasi?,” tanya sang Pangeran dengaaaaaan penuh bangga.
“Tuanku, ilmu ibaratnya laut yang tak bertepi. Dengan segenap jiwa dan pikiran, aku ingin terus mempelajari berbagai ilmu yang telah difahami orang lain,” antusiasnya.
Abu Nashr diam sejenak. Kemudian memberi jalan keluaar,
“Kau kini tampak besar dimataku, wahai anakku. Karena itu aku harus mengantarmu kepada seorang ilmuwan yang juga guru kami, Abdush-Shamad bin Abdush-Shamad Al-Hakim. Seorang yang bijaksana. Kau dapat belajar pada beliau tentang teori-teori klasik hingga pikiranmu semakin luas.”
Demikianlah. Dari satu guru besar ke guru besar lain, Al-Biruni yang dipanggil ibunya dengan sebutan Abu Raihan, terus berburu ilmi. Hingga di usia 23 tahun, ia dibawah bimbingan seorang pakar matematika dan falak, Profesor Abdush-shamad bin Abdush-Shamad. Bahkan bukan hanya ilmu yang ia peroleh, seluruh harta gurunya pun rela diberikan kepada Al-Biruni.

Tiada ulasan: